BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Awal masuk Amerika Serikat ke Indonesia untuk
menjajah secara ekonomi dan politik pada Konferensi Meja Bundar 1949.
Pada konferensi itu, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia tetapi pengakuan itu
disertai dengan tiga syarat ekonomi. Pertama, Indonesia harus tetap
mempertahankan keberadaan perusahaan asing di Indonesia. Nah, sebagian
perusahaan itu berasal dari Amerika, di antaranya adalah perusahaan minyak. Kedua, Indonesia
harus mengakui IMF. Kita tahu persis bahwa Amerika pemegang saham terbesar di
IMF. Ketiga, Indonesia harus bersedia menerima warisan utang dari
Hindia Belanda.
Dan dapat diketahui juga waktu itu pihak
Belanda berutang ke Amerika Serikat. Banyak sekali soal keterlibatan Amerika
dalam menggulingkan Soekarno. Karena kebijakan Soekarno yang ingin
menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Tentang penggulingan
Soekarno dan naiknya Soeharto itu pun sebenarnya rekayasa dari kepentingan
modal intenasional. Tetapi didahului oleh kerusuhan politik sehingga timbul
‘kudeta’ yang sifatnya tidak hanya domestik. Bila dicermati, akan menemukan
rekayasa yang sifatnya multinasional, yang dimotori oleh korporasi-korporasi
asing untuk menyingkirkan Soekarno dan mendudukkan Soeharto.
1.2
Rumusan Masalah
Adapun
Rumusan Masalahnya yaitu :
1)
Bagaimanakah
keterlibatan Amerika dalam Pemberontakan PRRI/PERMESTA?
3) Bagaimanakah Peranan CIA terhadap NKRI ?
1.3
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui keterlibatan Amerika dalam Pemberontakan PRRI/PERMESTA
3.
Untuk mengetahui
Peranan CIA terhadap NKRI
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Keterlibatan Amerika dalam Pemberontakan PRRI/PERMESTA
Suasana demokrasi liberal di tahun 1950-an telah menimbulkan
kekacauan dan pergolakan-pergolakan dengan kekerasan. Pemilihan umum yang
dilaksanakan tahun 1955 tidak berhasil menghilangkan ketidakadilan di bidang
politik, ekonomi dan sosial. Daerah-daerah di luar Jawa merasa dianaktirikan
oleh Pemerintah Pusat, sehingga di beberapa daerah muncul gerakan-gerakan
menuntut otonomi luas. Di bidang ekonomi dan perdagangan hasil ekspor yang
sebagian berasal dari daerah-daerah luar Jawa, pembagian penggunaan di Pulau
Jawa dianggap tidak adil.
Di samping kekecewaan-kekecewaan tersebut, ada suatu masalah yang
cukup serius yang mendorong Letnan Kolonel Ahmad Husein di Sumatera Barat
bertekad menentang pemerintah Pusat, yaitu adanya penilaian bahwa Bung Karno
dianggap mulai dipengaruhi Partai Komunis Indonesia. Pada akhir bulan Desember
1956 dan permulaan tahun 1957 terjadi pergolakan menentang pemerintah Pusat, di
Sumatera Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Sulawesi. Pergolakan ini
dimulai dengan pembentukan “Dewan Banteng” di Sumatera Barat tanggal 20
Desember 1956 dipimpin Letnan Kolonel Achmad Hussein. Tindakan pertama
dilakukan dengan mengambil alih pimpinan pemerintah Sumatera Barat dari
Gubernur Ruslan Muljohardjo.
Dua hari kemudian, tanggal 22 Desember 1956 di Medan (Sumatera
Utara) terbentuk “Dewan Gajah”, dipimpin Kolonel Maludin Simbolon, yang menyatakan bahwa Sumatera Utara melepaskan diri untuk sementara dari hubungan dengan pemerintahPusat. Bulan Januari 1957 “Dewan Garuda” mengambil alih pemerintahan dari Gubernur Winarno. Pada tanggal 2 Maret 1957 di Manado diumumkan “Piagam Perjoangan Semester (PERMESTA)” oleh Letnan Kolonel Sumual, menentang pemerintah Pusat. Tahun 1958 didirikan organisasi yang bernama Gerakan Perjuangan Menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang diketuai oleh Letnan Kolonel Achamad Husein. Gerakan Husein ini akhirnya mendirikan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) yang berkedudukan di Bukittinggi dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai pejabat presiden. Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) pada hari berikutnya mendukung dan bergabung dengan PRRI sehingga gerakan bersama itu disebut PRRI/Permesta. Permesta yang berpusat di Manado tokohnya adalah Letnan Kolonel Vantje Sumual, Mayor Gerungan, Mayor Runturambi, Letnan Kolonel D.J. Samba, dan Letnan Kolonel Saleh Lahade.
Utara) terbentuk “Dewan Gajah”, dipimpin Kolonel Maludin Simbolon, yang menyatakan bahwa Sumatera Utara melepaskan diri untuk sementara dari hubungan dengan pemerintahPusat. Bulan Januari 1957 “Dewan Garuda” mengambil alih pemerintahan dari Gubernur Winarno. Pada tanggal 2 Maret 1957 di Manado diumumkan “Piagam Perjoangan Semester (PERMESTA)” oleh Letnan Kolonel Sumual, menentang pemerintah Pusat. Tahun 1958 didirikan organisasi yang bernama Gerakan Perjuangan Menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang diketuai oleh Letnan Kolonel Achamad Husein. Gerakan Husein ini akhirnya mendirikan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) yang berkedudukan di Bukittinggi dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai pejabat presiden. Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) pada hari berikutnya mendukung dan bergabung dengan PRRI sehingga gerakan bersama itu disebut PRRI/Permesta. Permesta yang berpusat di Manado tokohnya adalah Letnan Kolonel Vantje Sumual, Mayor Gerungan, Mayor Runturambi, Letnan Kolonel D.J. Samba, dan Letnan Kolonel Saleh Lahade.
Lima puluh tahun yang lalu, tepatnya 20 Desember 1957, di sebuah
kota kecil di pesisir barat pantai Sumatera yang bernama Salido, berlangsung
suatu sidang reuni para militer pejuang yang tergabung dalam Resimen IV Divisi
Banteng Sumatera Tengah.2 Reuni tersebut menghasilkan dan membentuk suatu badan
organisasi yang dinamai "Dewan Banteng" dengan tokoh-tokoh militer
seperti Kolonel Achmad Husein, Kolonel Dahlan Jambek, Kolonel M. Simbolon dan
lain-lain sebagai para atasan dan penggeraknya. Namun, pada 15 Februari 1958,
atas prakarsa "Dewan Banteng", organisasi yang dilahirkan dari hasil
reuni militer yang dikepalai oleh Letkol Achmad Husein, Kolonel Dahlan Jambek
dan Kolonel Maludin Simbolon, "diproklamirkan" sebuah pemerintahan
baru yang bernama "Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia" yang
disingkat dengan sebutan PRRI, dengan kota Padang sebagai "ibukota
negara" dan Mr. Syafrudin Prawiranegara sebagai "Presiden PRRI".
Proklamasi PRRI ini, menjadi titik awal perlawanan secara terbuka
terhadap kepemimpinan Presiden Sukarno dan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Ranah Minang dikuasai oleh oknum-oknum, baik militer maupun sipil,
yang tidak merasa puas dengan kepemimpinan Bung Karno, dan membawa rakyat
Minangkabau untuk memberontak melepaskan diri dari ikatan persatuan NKRI.
Sementara itu, dalam waktu yang sama, di bagian Timur tanah air, juga timbul
satu pemberontakan yang senada, perlawanan terhadap NKRI di bawah pimpinan
Letkol Ventje Sumual, dengan membentuk pemerintah tandingan yang bernama
PERMESTA (Pemerintah Rakyat Semesta). Alasan-alasan yang dikemukakan oleh
pemimpin-pemimpin gerakan-gerakan tersebut sama, tidak lain adalah pemerintah
Pusat dianggap kurang memperhatikan keadaan daerah disertai tuntutan menambah
anggota kabinet dengan Mohammad Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono. Menghadapi
tantangan dari daerah-daerah, pemerintah Pusat memprakarsai Musyawarah Nasional
di Jakarta yang berlangsung tanggal 9.
Di luar negeri Sukarno juga sedang hebat-hebatnya menggalang
persatuan Negara-negara berkembang Asia dan Afrika guna menentang kaum
imperialis. Di dalam negeri, Sukarno menolak bantuan Amerika yang disalurkan
lewat program USAID (United State Aid), serta mengisyaratkan kemungkinan pengambilalihan
perusahaan Amerika Serikat seperti Calltex, Stanvac, Good Year dan Union
Carbide. Menanggapi ketidaksukaannya pada AS, Bung Karno sering mendapat
pertanyaan, apakah sikapnya anti Amerika dan Bung Karno pun lantas menjawab:
"Bertahun-tahun lamanya aku sangat ingin menjadi sahabat Amerika, akan
tetapi sia-sia". Pernyataan Bung Karno tersebut menyiratkan bahwa
sebenarnya ia tidak membenci Amerika, akan tetapi berbagai perlakuan tidak
menyenangkan yang diterimanya dari AS—mulai dari keterlibatan AS pada
PRRI/Permesta yang menunjukkan betapa AS tidak menghormati dan berusaha
mengaduk-aduk kedaulatan Indonesia, sampai pada sikap tidak bersahabat Presiden
Eisenhower pada Bung Karno ketika Bung Karno mengunjungi Washington pada tahun
1960—membuat Bung Karno tidak bisa tidak membenci AS. Memburuknya Hubungan
Diplomatik antara Indonesia-Amerika Serikat, dan Berubahnya Orientasi Politik
Luar Negeri Indonesia menjadi Condong ke Arah Komunis
Keterlibatan AS dalam PRRI/Permesta telah membuat Indonesia marah. Indonesia
pun memutuskan untuk membeberkan keterlibatan AS ini dalam forum internasional.
Konferensi Asia-Afrika II dianggap merupakan momen yang tepat untuk membeberkan
keterlibatan ini. Menteri Luar Negeri Indonesia, Dr. Subandrio pun menyiapkan
pengumuman yang rencananya akan disampaikan dalam konferensi itu, bahwa
Indonesia mempunyai bukti adanya satu plot Amerika-lnggris akan mengadakan
serangan militer terhadap Indonesia. Namun konferensi itu batal dilaksanakan.
Namun pembatalan konferensi tidak lantas membatalkan niat Indonesia untuk
membeberkan kesalahan AS ini. Dr. Subandrio pun kemudian memberikan interview
kepada wartawan harian terbesar di Kairo, hubungan AS-Indonesia makin terasa
mencekam.
Memburuknya hubungan diplomatik AS-Indonesia kemudian melahirkan perubahan
orientasi politik luar negeri Indonesia, yang tadinya cukup dekat dengan negara
Barat menjadi semakin ke arah kiri. Jakarta tampak lebih akrab dengan Moskow,
Beijing maupun Hanoi, dan tampak garang terhadap AS dan sekutu Baratnya.25 Memang
tidak dapat dipungkiri, antara dekade 50-an hingga pertengahan 60-an, Bung
Karno merupakan sosok yang penuh dengan kontroversi, hal ini dikarenakan karena
visi politik luar negerinya yang kelewat agresif. Keagresifan Bung Karno antara
lain ditandai dengan pembentukan NEFOS (New Emerging Forces) yang beranggotakan
negara-negara Dunia Ketiga, serta gagasan
pembentukan “Poros Jakarta-Beijing-Pyongyang” yang kesemuanya semakin menunjukkan kedekatan Indonesia dengan komunis.
pembentukan “Poros Jakarta-Beijing-Pyongyang” yang kesemuanya semakin menunjukkan kedekatan Indonesia dengan komunis.
Ironisnya, keterlibatan AS dalam PRRI/Permesta yang sebenarnya
bertujuan untuk menggulingkan Soekarno yang ketika itu dinilai mulai
menunjukkan orientasi politik kiri, justru membuat Presiden Soekarno semakin
anti pada AS dan semakin dekat dengan negara-negara komunis. Penulis menilai,
keterlibatan AS dalam PRRI/Permesta terbuktimalah “mendorong” Indonesia ke
tangan komunis, bukan menyelamatkannya. Munculnya dukungan dari Amerika Serikat
pada TNI dan Meningkatnya Konflik Dalam Negeri akibat Dukungan tersebut.
Kegagalan PRRI/Permesta dalam menggulingkan Soekarno tidak lantas membuat AS—dalam hal ini, CIA—putus asa dan menghentikan usahanya untuk membasmi komunis di Indonesia. Pada 1 Agustus 1958, AS mulai memberikan bantuan militer senilai dua puluh juta dollar per tahun27 pada Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Kegagalan PRRI/Permesta dalam menggulingkan Soekarno tidak lantas membuat AS—dalam hal ini, CIA—putus asa dan menghentikan usahanya untuk membasmi komunis di Indonesia. Pada 1 Agustus 1958, AS mulai memberikan bantuan militer senilai dua puluh juta dollar per tahun27 pada Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Keterlibatan dan intervensi Amerika Serikat di Irian Barat itu
sendiri memiliki permasalahan yang cukup signifikan. Hal ini diawali dari
adanya kepentingan serta kebijakan luar negeri Amerika Serikat itu sendiri di
berbagai negara di Asia, temasuk Indonesia. Kemudian dengan adanya kemampuan dari
Amerika Serikat dalam hal militer dan juga perekonomian itu sendiri memberikan
kekuasaan terhadap negara-negara yang dianggapnya dapat diperoleh kerjasama
baik secara bilateral maupun multilateral. Berbagai hubungan Amerika
Serikat-Indonesia yang pada mulanya dilakukan oleh Amerika Serikat berawal dari
adanya insiden antara awak kapal perang Potomac dengan penduduk Kuala Batu di
Aceh. Kemudian berlanjut menjadi adanya indikasi keterlibatan Amerika Serikat
dalam operasi Trikora yang menurut Amerika Serikat itu sendiri adalah upaya
pribadi Soekarno yang merusak tatanan perdamaian dan kesejahteraan dunia yang
kemudian dibentuknya opini dunia oleh Amerika Serikat itu sendiri.
Kesinambungan kebijakan luar negeri Amerika Serikat dengan
masalah-masalah keamanan yang dilakukannya tersebut memiliki ciri yang
bertentangan. Ciri khas politik Amerika Serikat itu sendiri memiliki kolaborasi
yang seimbang antara memeilihara, melindungi, dan memperluas kepentingan
Amerika Serikat itu sendiri di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Tetapi peran
politik yang paling penting dan realistik dalam kancahnya di Irian Barat adalah
politik intervensionis. Di mana pada masa pasca Perang Dunia II, permasalahan
Irian Barat itu sendiri diintervensi oleh Amerika Serikat melalui pemerintahan
kepresidenan Harry S. Truman, Dwight D. Eisenhower, John Fitzgerald Kennedy dan
sebagainya yang terpengaruh oleh kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang
terpengaruh dari pemimpin-pemimpinnya tersebut.
Dalam suatu pemerintahan liberal maupun kebijakan luar negeri yang
dijalankan Amerika Serikat, terdapat peran kaum neokonservatif yang melakukan
rekayasa sosial. Rekayasa sosial terbentuk dari sebuah gerakan dengan visi
tertentu yang bertujuan untuk mempengaruhi perubahan sosial, tetapi dalam konteks
social engineering (rekayasa sosial) yang dilakukan oleh pemerintah Amerika
Serikat, adalah dengan melakukan penyebaran demokrasi terhadap negara-negara
yang masih diktator. Dalam hal ini Soekarno dianggap sebagai seorang diktator
yang menghalangi kepentingan Amerika Serikat di Indonesia khususnya Irian Barat
pada masa pasca Perang Dingin tersebut.
Keterlibatan Amerika Serikat itu sendiri tidak terlepas dari adanya
peran Soekarno sebagai presiden pertama Republik Indonesia yang baru merdeka
pada tahun 1945. Pengaruh-pengaruh Blok Timur di Indonesia mulai dikesampingkan
oleh presiden Amerika Serikat pada saat itu yaitu Harry S. Truman di mana
konflik kependudukan dan geografi Irian Barat itu sendiri berakar dari adanya
kepentingan Amerika Serikat untuk tetap menjadikan Indonesia sebagai bagian
dari negara-negara penganut Blok Barat, tetapi dengan adanya peran Soekarno
yang bersikap tegas dan tidak mudah untuk diatur, Amerika Serikat menggunakan
kesempatan tersebut di mana pada saat itu Indonesia sedang melakukan perjuangan
mempertahankan kemerdekaan terhadap Belanda untuk membantu Belanda mengklaim
Irian Barat sebagai daerah yang diklaim Belanda dalam jajahannya agara Indonesia
tetap condong ke Blok Barat di bawah pengaruh Belanda.
Bentuk lain dari Doktrin Truman yang berlaku di Eropa juga
diaplikasikan dalam penolakan bantuan militer terhadap Indonesia dalam
melakukan perlawanan terhadap Belanda. Hal ini dikarenakan sikap Soekarno yang
juga mendukung komunisme dalam masa Perang Dingin sehingga adanya indikasi
bahwa tidak percayanya Amerika Serikat terhadap Indonesia untuk terus berada di
Blok Barat. Sedangkan mempertahankan Irian Barat dianggap sebagai suatu sikap
atau bentuk perlawanan terhadap imperialisme yang berkepanjangan antara
negara-negara Blok Barat tersebut. Demokrasi juga disalahpahami sebagai suatu
sistem yang menguntungkan sebuah negara karena dibebaskannya negara tersebut
dari kediktatoran. Hal yang ingin ditekankan adalah kasus Irian Barat dalam
pandangan Truman merupakan suatu bentuk kesempatan ataupun eksperimen untuk
mempersatukan serta mengayomi pihak militer Indonesia untuk melepaskan diri
dari pihak Indonesia. Berlanjut pada masa pemerintahan Dwight D. Eisenhower di
mana adanya keterlibatan seorang agen CIA bernama Allen Pope yang dianggap
memiliki peran penting dalam proses intervensi pemerintahan AS di Indonesia dan
membuka peluang penting dalam menyibak kabut keterlibatan AS di Irian Barat.
Pada tahun 1950 juga bentuk politik Amerika Serikat terhadap
Indonesia memiliki beberapa faktor yang relevan dengan adanya permasalah baik
di internal maupun eksternal Indonesia dan Amerika Serikat itu sendiri. Seperti
tindakan-tindakan sensitive yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat
karena adanya gerakan-gerakan yang menjurus kea rah komunisme Blok Timur, lalu
pada waktu itu pemerintah Indonesia memperoleh dukungan yang luas dari rakyat
beserta instrument-instrumen kenegaraannya yang luas sehingga adanya
kecenderungan munculnya pengaruh yang memecah belah, lalu metode politik
Indonesia yang tidak sesuai dengan demokrasi Amerika Serikat itu sendiri juga
menjadi permasalahan lain dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat di
Indonesia sendiri, kemudian adanya ketidaksenangan pihak Amerika Serikat karena
akan adanya gerakan politik yang memperjuangkan Irian Barat (yang pada saat itu
masih dijajah Belanda).[
Sehingga bantuan luar negeri yang Amerika Serikat berikan,
tersangkut oleh adanya faktor-faktor tersebut. Lalu kemudian cara persuasif
yang lebih halus dan tanpa penekanan dilakukan oleh John F. Kennedy dalam masa
pemerintahannya terhadap Soekarno. Adanya pengeluaran biaya dalam pembelian
alat-alat militer dan bantuan secara militer ditawarkan oleh Kennedy untuk
aksi-aksi pembebasan Irian Barat dan berbagai permasalahan lainnya di Indonesia
terhadap Soekarno. Hal ini memberikan jalan lain setelah terkuaknya kasus
dugaan percobaan pembunuhan Soekarno, pada tanggal 3 Juni 1965. Setelah adanya
pembebasan Allen Pope itu sendiri yang dimuat di New York Times, tanggal 23
Agustus 1962.
2.3 Peranan CIA terhadap
NKRI
Kemenangan kaum komunis
dalam Revolusi Merah Oktober 1917 begitu mencemaskan AS. Sejak itu, AS
merancang satu strategi untuk menghancurkan Rusia. “Tanggal 8 Januari 1918,
Presiden AS Woodrow Wilson mengumumkan Program 14 Pasal. Dalam suatu komentar
rahasia mengenai program ini, Wilson mengakui jika usaha menghancurkan dan
mencerai-beraikan Uni Soviet sudah direncanakan. ” Dan dikemudian hari, kita
sama-sama mengetahui bahwa Soviet benar-benar dihancurkan di tahun 1992. Truman
Doctrine untuk mengepung penyebaran komunisme dikeluarkan pada 1947. Disusul
dengan Marshall Plan tahun berikutnya guna membangun kembali Eropa dari
puing-puing akibat PD II. Dan jika Indonesia merupakan satu-satunya wilayah
koloni Eropa yang tercakup dalam rencana dasar Marshall Plan. Akibatnya,
bantuan keuangan AS kepada Belanda menyebabkan Den Haag mampu untuk memperkuat
genggamannya atas Indonesia. Belanda melancarkan embargo ekonomi terhadap
pemerintah RI yang berpusat di Jogja waktu itu.
Washington juga secara
rahasia ikut membantu militer Belanda untuk menjajah kembali Indonesia. Hal itu
terbukti ketika tentara Belanda kembali datang ke Jawa dan Sumatera pada musim
semi 1946, banyak serdadu Belanda mengenakan seragam marinir AS dan mengendarai
jeep Angkatan Darat AS. Bahkan AS diyakini turut membantu Belanda dalam
serangan militer Belanda II atas Yogya pada tanggal 18 Desember 1948.
Perhatian AS terhadap
Indonesia sangat besar sejak sebelum Perang Dunia II disebabkan letaknya yang
sangat strategis dan kandungan kekayaan alamnya yang luar biasa. Untuk itu AS
pun membangun tempatnya dibeberapa titik yaitu:
- Pada 8 September 1951, AS mendirikan
pangkalan militer di Okinawa-Jepang,
- Pangkalan Clark dan Subic di Philipina
berdiri pada 30 Agustus 1951,
- ANZUS (Australia, New Zealand, and AS)
berdiri pada 1 September 1951,
- Korea Selatan pada 1 Oktober 1953,
- Taiwan pada 2 Desember 1954.
Soekarno tahu jika
negerinya ini menyimpan kekayaan alam yang luar biasa. Sebab itu dia
sungguh-sungguh paham jika suatu hari Indonesia akan mampu untuk tumbuh menjadi
sebuah negeri yang besar dan makmur. Sikap Soekarno inilah yang membuatnya
menentang segala bentuk Neo Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim) di mana AS
menjadi panglimanya. Dalam pandangan Soekarno, Soviet lebih bisa dipercaya
ketimbang AS karena Soviet belum pernah menjadi negara kolonial di luar negeri,
sebaliknya Inggris dan Perancis adalah bekas negara-negara kolonial yang
bersekutu dengan AS. Atas sikap keras kepala Soekarno yang tidak mau tunduk
pada keinginan AS guna membentuk Pan- Pacific untuk melawan kekuatan komunisme,
dan di sisi lain juga berarti menentang tunduk pada sistem kapitalisme yang
merupakan induk dari kolonialisme dan imperialisme di mana AS menjadi
panglimanya, maka tidak ada jalan lain bagi Amerika untuk menundukkan Soekarno
kecuali menyingkirkannya.
Pada tahun 1957, untuk
memperkuat perekonomian nasional, Bung Karno bertindak cepat mengambil langkah
berani dan cerdas dengan menasionalisasi aset-aset milik Belanda. Soekarno tahu
jika rakyat tentu mendukung penuh langkah ini. Namun Soemitro dan
rekan-rekannya yang PRO BARAT dengan berani menentang Bung Karno dan malah
bergabung dengan para pemberontak PRRI/PERMESTA yang didukung penuh
CIA. Dalam waktu bersamaan, November 1957, terjadi percobaan pembunuhan
terhadap Bung Karno yang dikenal dengan peristiwa Cikini. Bung Karno selamat
namun 9 orang tewas dan 45 orang disekelilingnya terluka. Pemerintah kala itu
mendeteksi jika tindakan makar tersebut didalangi oleh komplotan extreem kanan
yang dimotori Letkol Zulkifli Loebis, pendiri Badan Rahasia Negara Indonesia
(BraNI), cikal bakal BIN, dan didukung CIA. Dengan tegas Bung Karno mengatakan
jika CIA berada di belakang usaha-usaha pembunuhan terhadap dirinya. Tudingan
Bung Karno terbukti.
Ø Dukungan Besar CIA Pada Pemberontakan PRRI/PERMESTA
Dalam operasi mendukung
PRRI/PERMESTA, AS menurunkan kekuatan yang tidak main-main. CIA menjadikan
Singapura, Filipina (Pangkalan AS Subic & Clark), Taiwan, dan Korea Selatan
sebagai pos suplai dan pelatihan bagi pemberontak. Dari Singapura, pejabat
Konsulat AS yang berkedudukan di Medan, dengan intensif berkoordinasi dengan
Kol. Simbolon, Sumitro, dan Letkol Ventje Soemoeal. Awalnya pemerintah AS
membantah keterlibatannya dalam pemberontakan PRRI/PERMESTA. Namun sungguh
ironis, tidak sampai tiga pekan setelah Presiden Eisenhower menyatakan hal itu,
pada 18 Mei 1958, sebuah pesawat pengebom B-29 milik AS ditembak jatuh oleh
sistem penangkis serangan udara Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI),
Pilot tempur pesawat tersebut, Allan Lawrence Pope, agen CIA yang sengaja
ditugaskan membantu pemberontakan guna menggulingkan Bung Karno, berhasil
ditangkap hidup-hidup.
Atas gertakan AS yang
sampai mengerahkan kekuatan dua batayon US Marine dengan Armada ke-7 nya ke
perairan Riau, Bung Karno sama sekali tidak gentar dan balik mengancam AS agar
jangan ikut campur terlalu jauh ke dalam masalah internal NKRI. Bung Karno
segera mengirim satu pasukan besar di bawah pimpinan Ahmad Yani untuk melibas
para pemberontak di Sumatera. Saat itu RRC telah menyiapkan skuadron udaranya
serta ribuan tentara regulernya untuk bergerak ke Indonesia guna membantu
Soekarno memadamkan pemberontakan yang didukung CIA tersebut, namun Bung Karno
menolaknya. Dan hal itu terbukti, hanya dalam hitungan jam setelah pasukan
Ahmad Yani mendarat di Pekanbaru, Padang, serta Bukit Tinggi—pusat konsentrasi
para pemberontak—maka kota-kota penting itu pun direbut tanpa perlawanan yang
berarti.
Walaupun awalnya AS
membantah keterlibatannya, namun mantan Dubes AS Howard P. Jones mengakui jika
dirinya tahu jika CIA ada di belakang pemberontakan itu. Hal ini ditegaskan
Jones dalam memoarnya “Indonesia: The Possible Dream” (1990; h.145). Upaya CIA
menumbangkan Bung Karno selalu menemui kegagalan. Dari membuat film porno “Bung
Karno”, sampai dengan upaya pembunuhan dengan berbagai cara. Hal ini menjadikan
CIA harus bekerja ekstra keras. Apalagi Bung Karno secara cerdik akhirnya
membeli senjata dan peralatan militer ke negara-negara Blok Timur dalam jumlah
besar, setelah AS menolak memberikan peralatan militernya. AS tentu tidak ingin
Indonesia lebih jauh bersahabat dengan Blok Timur. Sebab itu, setelah gagal
mendukung PRRI/PERMESTA, sikap AS jadi lebih lunak terhadap Indonesia.
Namun Amerika mempunyai
rencana lain, sesungguhnya AS tengah melancarkan ‘operasi dua muka’ terhadap
Indonesia. Di permukaan AS ingin terlihat memperbaharui hubungannya dengan Bung
Karno, namun diam-diam CIA masih bergerak untuk menumbangkan Bung Karno dan
menyiapkan satu pemerintah baru untuk Indonesia yang mau tunduk pada
kepentingan Amerika. Di sisi lain, CIA juga menggarap satu proyek membangun
kelompok elit birokrat baru yang pro barat yang kini dikenal sebagai ‘Berkeley
Mafia’. Sumitro dan Soedjatmoko merupakan tokoh penting dalam kelompok ini.
Terbukanya Upeti Besar
dari Asia Tumbangnya Soekarno dan naiknya Jenderal Suharto disambut gembira
pihak Washington. Presiden AS Richard M. Nixon sendiri menyebut hal itu sebagai
“Terbukanya upeti besar dari Asia”. Indonesia memang laksana peti harta karun
yang berisi segala kekayaan alam yang luar biasa. Jika oleh Soekarno kunci peti
harta karun ini dijaga baik-baik bahkan dilindungi dengan segenap kekuatan yang
ada, maka oleh Jenderal Suharto, kunci peti harta karun ini justru digadaikan
dengan harga murah kepada Amerika Serikat. Apalagi di zaman pemerintahan SBY
saat ini.
Sejak kegagalan
mendukung PRRI/PERMESTA, National Security Council (NSC) lewat CIA terus
memantau perkembangan situasi Indonesia secara intens. Sejumlah lembaga-lembaga
sipil dan militer AS juga sangat aktif menggodok orang-orang Indonesia yang
dipersiapkan duduk di kursi kekuasaan paska Soekarno. Orang yang dijadikan
penghubung antara CIA dan Suharto dalam hal ini adalah Adam Malik.
Untuk membangun satu
kelompok militer—terutama Angkatan Darat—di Indonesia yang baru, AS
menyelenggarakan pendidikan militer untuk para perwira Indonesia ini di Fort
Leavenworth, Fort Bragg, dan sebagainya. Pada masa antara 1958-1965 jumlah
perwira Indonesia yang mendapat pendidikan ini meningkat menjadi 4.000 orang.
AS telah memanfaatkan para pejabat Indonesia PRO BARAT ini untuk memuluskan
kepentingannya.
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Keterlibatan AS dalam PRRI/Permesta telah membuat Indonesia marah. Indonesia
pun memutuskan untuk membeberkan keterlibatan AS ini dalam forum internasional.
Konferensi Asia-Afrika II dianggap merupakan momen yang tepat untuk membeberkan
keterlibatan ini. Menteri Luar Negeri Indonesia, Dr. Subandrio pun menyiapkan
pengumuman yang rencananya akan disampaikan dalam konferensi itu, bahwa
Indonesia mempunyai bukti adanya satu plot Amerika-lnggris akan mengadakan
serangan militer terhadap Indonesia. Namun konferensi itu batal dilaksanakan.
Namun pembatalan konferensi tidak lantas membatalkan niat Indonesia untuk
membeberkan kesalahan AS ini. Dr. Subandrio pun kemudian memberikan interview
kepada wartawan harian terbesar di Kairo, hubungan AS-Indonesia makin terasa
mencekam.
Memburuknya hubungan diplomatik AS-Indonesia kemudian melahirkan perubahan
orientasi politik luar negeri Indonesia, yang tadinya cukup dekat dengan negara
Barat menjadi semakin ke arah kiri. Jakarta tampak lebih akrab dengan Moskow,
Beijing maupun Hanoi, dan tampak garang terhadap AS dan sekutu Baratnya.25
Memang tidak dapat dipungkiri, antara dekade 50-an hingga pertengahan 60-an,
Bung Karno merupakan sosok yang penuh dengan kontroversi, hal ini dikarenakan
karena visi politik luar negerinya yang kelewat agresif. Keagresifan Bung Karno
antara lain ditandai dengan pembentukan NEFOS (New Emerging Forces) yang
beranggotakan negara-negara Dunia Ketiga, serta gagasan pembentukan “Poros
Jakarta-Beijing-Pyongyang” yang kesemuanya semakin menunjukkan kedekatan
Indonesia dengan komunis.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar